Pengetahuan versus modal

Hari pertama bulan Mei setiap tahunnya selalu diperingati sebagai hari buruh internasional, setidaknya di banyak negara termasuk Indonesia. Sejarahnya dipilihnya tanggal 1 Mei sebagai hari buruh adalah untuk memperingati tragedi Haymarket – demo menuntut delapan jam kerja yang berlangsung di Chicago pada 4 May 1886 – oleh organisasi negara-negara yang menamakan diri mereka Second International. Informasi ini saya peroleh dari Wikipedia, buat yang tertarik dan ingin melanjutkan membaca lebih lanjut tentang sejarah hari buruh. Menariknya, hari buruh ini adalah simbol perlawanan kaum buruh terhadap kaum pemilik modal, selanjutnya disebut kapitalis, yang relasi keduanya telah diteorikan jauh sebelumnya oleh Karl Marx bersama rekannya sesama orang Jerman, Friedrich Engels. Agar lebih memudahkan, mari kita tinjau sekilas pandangan Marx terhadap kapitalisme.

Singkatnya, Marx berargumen bahwa kapitalisme – sistem yang didasarkan pada kepemilikan modal –adalah sistem yang tidak adil, memperlebar kesenjangan, dan secara bawaan tidak stabil alias riskan terhadap krisis. Kenapa? Karena alat dan sistem produksi dikuasai oleh hanya sekelompok kecil kapitalis, sementara massa buruh yang besar hanya memiliki tenaga untuk ‘dijual’ kepada kaum kapitalis. Akibat dari relasi seperti ini, terjadi komoditasi buruh. Sistem kapitalisme yang kompetitif memaksa pemilik modal untuk menekan upah buruh serendah mungkin agar mereka dapat bertahan di pasar kapitalisme yang ‘ganas’ sekaligus  memaksimalkan keuntungan mereka, jika memungkinkan tentunya. Dampaknya jelas. Pertama, keuntungan akan terkonsentrasi di sekelompok kecil kaum kapitalis. Artinya, ketimpangan ekonomi akan semakin melebar karena kapitalis yang kaya akan semakin kaya dan buruh yang miskin akan semakin miskin. Kedua, akan terjadi kelebihan produksi yang memicu krisis sistemik. Kapitalisme akan terus berekspansi hingga pada suatu titik akan memproduksi terlalu banyak barang yang tidak terserap oleh pasar, karena pembelinya tidak lain adalah kaum buruh yang upahnya terlalu rendah untuk menjangkau harga barang yang diproduksi dengan tenaga mereka sendiri. Dengan kata lain, krisis merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan karena memang faktor bawaan alami dari sistem kapitalisme. Oleh karenanya, Marx menyarankan sebuah revolusi sosial yang diprakarsai oleh kelas pekerja untuk membentuk suatu tatanan sosial dan ekonomi yang baru, yang disebut komunisme. Ini bukan kata saya, melainkan kritik Marx terhadap sistem ekonomi kapitalisme. Kata komunis sendiri sesungguhnya kata yang tabu di Indonesia, karena sejarah masa lalu makna kata ini ikut berevolusi sehingga berkonotasi dengan sesuatu yang anti agama.

Saya sendiri berpandangan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang kapitalis, atau setidaknya kita sedang mengarah ke sana. Saya berpandangan seperti ini bukan semata karena Indonesia adalah salah satu negara yang memperingati hari buruh pada 1 Mei. Akan tetapi peringatan hari buruh 1 Mei yang biasanya disertai demonstrasi buruh besar-besaran mengindikasikan perlawanan kelas buruh terhadap kekuatan sistem yang didominasi oleh kaum kapitalis. Di satu sisi, gerakan buruh yang dimotori oleh serikat buruh terlihat semakin terkonsolidasi dan terkoordinasi, bahkan sudah mulai terkoneksi dengan kekuatan formal partai politik. Di sisi lain, kaum kapitalis terus melakukan lobi politik untuk membentuk kebijakan publik yang ramah terhadap kepentingan pemilik modal. Pergelutan antarkelas sosial ini sepertinya akan terus berlangsung di masyarakat kita sampai waktu yang belum terlihat akhirnya. Semoga saja ‘struggle’ ini dapat segera terlembagakan dalam struktur politik kita sehingga kita tidak perlu lagi berlarut-larut demo di jalanan. Untuk saat ini, saran saya nikmati saja ‘pertunjukan jalanan’ yang terjadi.

Beberapa alternatif untuk kapitalisme tentunya sudah ada. Koperasi dan BUMN adalah contohnya. Prinsipnya, kepemilikan pribadi faktor produksi digantikan dengan kepemilikan bersama Koperasi dan kepemilikan publik BUMN. Lagi, kedua sistem usaha tersebut tidak bebas kritik juga, utamanya terkait akuntabilitas pengelolaan dan karakter monopolinya. Kritik kedua jelas datangnya dari kapitalis. Banyak hal yang bisa dan telah dibahas mengenai keberadaan koperasi dan BUMN di ekonomi kita. Namun, yang menarik untuk dipertanyakan lebih jauh adalah mengenai konsep ekonomi berbasis pengetahuan atau knowledge-based economy yang digaungkan menjadi format ekonomi pasca era ekonomi industri. Apakah ekonomi pengetahuan ini hanya metamorfosis atau merupakan alternatif dari kapitalisme? Saya berpendapat pengetahuan adalah alternatif, bukan subordinat, dari kapital. Dalam interpretasi saya, alat produksi dalam sistem ekonomi pengetahuan adalah daya pikir dari seseorang yang sepenuhnya dalam kendali si pemilik pengetahuan. Dengan demikian, relasi antara pemilik pengetahuan dan pemilik modal harusnya setara dan demokratis, tidak eksploitatif satu dengan yang lain. Ini menurut prediksi saya. Namun bagaimana realitas di lapangan kita tunggu apa yang terjadi nanti. Jika dibalik, apakah ekonomi pengetahuan akan lebih sosialis/komunis sebagaimana kondisi masyarakat yang diprediksi oleh Marx? Saya berpendapat ekonomi pengetahuan juga tidak akan sepenuhnya sosialis, karena kepemilik pengetahuan dan ide tetap individualistik sifatnya. Namun, dugaan saya, kesetaraan tetap menjadi karakter dari sistem ekonomi pengetahuan. Jika ekonomi pengetahuan bukan kapitalisme dan bukan juga sosialisme, sepertinya kita perlu memberi label sistem baru ini. Jika saya diminta untuk memberi nama, maka saya akan usulkan nama yang berakar bahasa Indonesia: PINTARISME[.]

4 thoughts on “Pengetahuan versus modal

  1. mohon ijin re-blog boleh kah Mas Irul? saya wando, sedang kuliah di UCL juga (barusan liat di fb nya Mas, link ke blog ini) 🙂

    Like

      1. Terima kasih Mas, waktu itu klo g salah lihat ada di mushola (quiet room) UCL ya, hehe

        Like

Leave a comment